Natural itu apa adanya, sebuah keindahan tanpa polesan yang penuh dengan makna. Sejauh pengamatan saya, semua hal yang Tuhan rancang dalam kehidupan ini adalah sesuatu yang bersifat natural. Muncul dari ide brilian yang otentik. Tanpa sebuah pemaksaan di dalamnya. Bayangkan saja, bunga-bunga liar yang bertumbuh secara natural tanpa ada campur tangan manusia di dalamnya, lebih sedap dipandang mata, lebih bermakna.
Terkadang kita merasa telah menjadi pribadi yang mencintai kenaturalan, namun dalam realita kehidupan, justru kita lebih condong memangkas kenaturalan dengan pemaksaan kehendak pribadi. Kepada anak-anak yang lamban memahami maksud, kita menyimpulkan bahwa mereka bodoh, padahal bisa saja yang mereka butuhkan adalah sebuah waktu yang lebih lama untuk belajar memahami. Atau mungkin memahami dengan lebih natural, tanpa batasan waktu.
Natural itu liar. Orang benci keliaran, namun harus diakui bahwa salah satu esensi pertumbuhan adalah keliaran itu sendiri. Keliaran itu beragam, bukan seragam. Pemangkasan kenaturalan dalam kehidupan terjadi ketika kita berupaya memaksakan semua orang untuk memakai seragam yang sama. Secara tidak sadar, kita telah menjaga jarak dari mereka yang tampaknya liar bagi kita. Terkadang dengan arogan kita menyimpulkan bahwa mereka tidak bertumbuh, tidak spiritual. Saya kuatir, jangan-jangan kita telah salah menilai. Mungkin justru mereka yang tampaknya liar itulah, yang sebenarnya telah mengalami pertumbuhan karena dalam keliaran, mereka telah memahami sebuah maksud secara natural. Saya curiga, jangan-jangan orang-orang yang gemar memakai seragam, yang tampaknya spiritual adalah mereka yang lamban memahami maksud dan tidak bertumbuh karena menentang keliaran dalam pertumbuhan yang natural.
Penghargaan kepada kenaturalan adalah ketika kita memilih untuk tidak memaksakan kehendak pribadi kepada orang lain dan memutuskan untuk menghargai sebuah bentuk keliaran dalam pertumbuhan secara natural.
Terkadang kita merasa telah menjadi pribadi yang mencintai kenaturalan, namun dalam realita kehidupan, justru kita lebih condong memangkas kenaturalan dengan pemaksaan kehendak pribadi. Kepada anak-anak yang lamban memahami maksud, kita menyimpulkan bahwa mereka bodoh, padahal bisa saja yang mereka butuhkan adalah sebuah waktu yang lebih lama untuk belajar memahami. Atau mungkin memahami dengan lebih natural, tanpa batasan waktu.
Natural itu liar. Orang benci keliaran, namun harus diakui bahwa salah satu esensi pertumbuhan adalah keliaran itu sendiri. Keliaran itu beragam, bukan seragam. Pemangkasan kenaturalan dalam kehidupan terjadi ketika kita berupaya memaksakan semua orang untuk memakai seragam yang sama. Secara tidak sadar, kita telah menjaga jarak dari mereka yang tampaknya liar bagi kita. Terkadang dengan arogan kita menyimpulkan bahwa mereka tidak bertumbuh, tidak spiritual. Saya kuatir, jangan-jangan kita telah salah menilai. Mungkin justru mereka yang tampaknya liar itulah, yang sebenarnya telah mengalami pertumbuhan karena dalam keliaran, mereka telah memahami sebuah maksud secara natural. Saya curiga, jangan-jangan orang-orang yang gemar memakai seragam, yang tampaknya spiritual adalah mereka yang lamban memahami maksud dan tidak bertumbuh karena menentang keliaran dalam pertumbuhan yang natural.
Penghargaan kepada kenaturalan adalah ketika kita memilih untuk tidak memaksakan kehendak pribadi kepada orang lain dan memutuskan untuk menghargai sebuah bentuk keliaran dalam pertumbuhan secara natural.